wemphilosophie
Jumat, 01 Desember 2017
Bahasa Indonesia itu....
Meski banyak yang bilang bahasa Indonesia itu sulit tapi saya tetap lebih suka bahasa Indonesia dari pada bahasa lain yang saya kuasai...
#cintaibahasaindonesia
Kamis, 30 November 2017
Sekaten
Sumber :Kaskus.co.id
Malam ini saya ingin menutup bulan November dengan mencoba flash back ke masa ABG. Menonton pasar malam Sekaten. Sempat was-was kalau-kalau turun hujan deras, maka saya berangkat ke alun-alun utara setelah maghrib. Ternyata ribuan orang memiliki rencana yang sama dengan saya. Alhasil di sepanjang Jl. Nyi Ahmad Dahlan sampai kawasan titik nol kilometer terjadi kemacetan panjang. Untungnya cuaca malam ini sedang bersahabat. Saya pun tak menyia-nyiakan menjajal sejumlah wahana permainan. Mulai dari wahana: rumah (gak) berhantu, komidi (bukan) putar. perahu (kok kaya) kora-kora, sampai biang(ane) lala.
Permainan-permainan tersebut di masyarakat kita disebut permainan tradisional, tapi menurut saya mainan-mainan tersebut banyak mengadopsi permainan-permainan sirkus di negara barat. Namun bagi saya merasakan sekaten sesungguhnya adalah kalau melihat mainan kapal othok-othok, mancing ikan plastik, dan penjual jajanan "endog abang". Sayang sekali kehadiran mereka mereka tak mencolok, bahkan seakan kalah dari stand-stand dengan modal besar yang ada di setiap gelaran sekaten. Kecuali jika ada orang-orang yang memang berhasrat "mencari" 3 hal unik ini.
Nah, jika kalian belum sempat menyaksikan pasar malam sekaten, sebenarnya sekaten akan berakhir pada 1 Desember 2017 bersamaan dengan digelarnya garebeg sekaten. Tapi biasanya Pemkot Jogja memberi toleransi hingga hari Minggu agar masyarakat yang belum sempat ke sekaten bisa memanfaatkan perpanjangan waktu yang diberikan. Dan tentu saja perpanjangan waktu ini diharapkan akan menambah pendapatan dari para pemilik stand di sekaten dari banyaknya pengunjung yang datang. Oya, bagi kalian para pendatang atau warga Jogja yang penasaran ingin menyaksikan garebeg sekaten atau adapula yang menyebutnya garebeg mulud, jangan lupa untuk menyaksikannya besok Jumat (10/12/17) mulai pukul 10.00 WIB. Kalian akan menyaksikan bagaiman orang-orang akan saling berebut mendapatkan bagian gunungan yang dimitoskan sebagai sedekah raja pada rakyatnya.
Rabu, 29 November 2017
Komedian itu jenius
Sumber : No film school.com
Penderitaanku mungkin membuat orang lain tertawa. Tapi tertawaku bukanlah karena penderitaan orang lain (Charlie Caplin, 1889 -1977)
Seorang (yang berani mengaku) komedian adalah orang jenius. Jenius karena untuk membuat orang lain tertawa, Ia harus bisa menertawakan dirinya sendiri.
Coba lihat bagaimana Charlie Capline menghibur penontonnya dengan membangun alur cerita sederhana tapi sulit ditebak. Baik dalam film durasi pendek maupun panjang Caplin sangat piawai membawakan materi yang cukup berat di zamannya mnejadi pesan yang mudah dicerna. Mungkin karena Caplin fokus pada pesan yang ingin disampaikan dan menggunakan media silent film (film bisu). Yang saya tau Caplin memang konsisten di genre silent film, meski sebenarnya sejak tahun 1927 film bersuara sudah banyak di produksi. Tapi itulah yang membuat Caplin berbeda dan menjadi legenda. Coba tonton Caplin di film Moderen Times (1936) yang bercerita dampak hadirnya industrialisasi dalam kehidupan manusia. Atau film Great Dicatator (1940) dimana Caplin memerankan 2 tokoh sekaligus, yakni prajurit sekaligus tukang cukur Yahudi dan "Adenoid Hynkel". Film ini merupakan kritik terhadap Adolf Hitler dan Nazi.
Sumber : jakarta.go.id
Ditengah maraknya tayangan hiburan saat ini, ada baiknya mereka yang mengaku komedian atau hendak menjadi komedian belajar dari 2 legenda ini
Selasa, 28 November 2017
Hujan & Bencana
Salah satu foto dari grup WA tentang banjir dan longsor di Yogyakarta 28/11/2017
Hari ini benar-benar luar biasa
Tiga hari berturut-turut hujan tanpa jeda
Dimana-mana yang terdengar bencana
Kakek, anak dan cucu meregang nyawa
Beristirahatlah dengan tenang jiwa-jiwa yang terlepas dari
raga
Semoga kita masih memiliki hati untuk sesama
Meski hanya dalam doa
**RIP untuk para korban meninggal akibat banjir dan longsor
Senin, 27 November 2017
Tentang Barista Cewek
Dulu kalau melihat mahluk wanita ada di coffee shop ibarat"gula" dalam kopi. Menghilangkan rasa pahit kopi sekaligus mengacaukan rasa kopi yang otentik. Namun kini wanita bukan hanya menjadi konsumen coffee shop melainkan barista nya. Tentu ini hal bagus karena akan mendorong tumbuh dan berkembangnya bisnis per-kopi-an di Indonesia. Meski barista cewek kini mulai bermunculan dengan kreativitas masing-masing, tapi menurut saya belum bisa "menggantikan" barista cowok. Mungkin saja saya salah karena menggeneralisir.
Ada dua hal terkait pendapat saya itu. Pertama, Barista lebih dari sekedar pembuat dan penyaji kopi. Barista adalah seniman!. Setidaknya ada dua coffee shop yang ketika saya kunjungi bertemu dengan seorang wanita berkostum barista. Yakni di coffee shop sekitar Tugu dan di Jl. Suryodiningratan.Tapi sejujurnya saya juga ragu apakah wanita tersebut merupakan barista. Karena meski cewek tersebut memakai apron khas barista yang saya lihat ia hanya menjadi pengantar kopi pesanan saja. Sementara yang meracik dan mengolah kopi tetap cowok. Mungkin saja waktu saya datang "barista cewek" tersebut lagi malas ngeliat saya jadi gak mau unjuk kebolehan di depan saya.
hmmm...
Kedua, Barista adalah pekerjaan profesional yang membutuhkan pengetahuan dan dedikasi. Beberapa kali saat mengunjungi festival kopi saya melihat cewek yang menggunakan apron khas barista tapi minim pengetahuan tentang kopi. Sederhana saja misalnya saat ditanya, mengapa suhu ideal menyeduh kopi harus dibawah 90 derajat celcius? eh jawabannya malah nge-les dan dianya malah bertanya ke rekannya yang barista cowok. Mungkin saja barista cewek itu baru belajar.
Tetapi pemandangan yang saya amati di festival kopi sepertinya beberapa booth coffee shop sengaja memajang "barista cewek" hanya untuk menarik perhatian pengunjung agar datang. selanjutnya ya barista cowok yang melayani. Saya jadi berpikir jangan-jangan barista cewek hanya menjadi korban eksploitasi dari si pemilik coffe shop untuk menarik pengunjung yang ujung-ujungnya supaya pengunjung membeli kopi di coffee shop tersebut.
Wallahu a'lam
Minggu, 26 November 2017
Gunungan
Salah satu bentuk gunungan
Pernah dengar kata gunungan?
Dalam masyarakat Jawa, Kata ini
merujuk pada berbagai hasil bumi yang disusun sedemikian rupa menyerupai bentuk
gunung. Dalam budaya Jawa, gunung memiliki makna simbolik tentang semakin
tingginya kesadaran diri manusia. Pada zaman dahulu tempat-tempat pemujaan
banyak didirikan dipegunungan. Bagi yang ingin mencari ketenangan dan
ketentraman pun menyepi di atas gunung. Itu sebabnya di akhir pementasan wayang
kulit diakhiri dengan tancep kayon berbentuk gunungan. Yakni selain sebagai
tanda bahwa pertunjukan telah usai, juga manusia (penonton wayang) memiliki pemahaman
pada kesadaran hidup yang lebih baik. Pementasan wayang adalah gambaran “buwana
alit” sedangkan hidup yang dijalani manusia adalah “buwana ageng”.
Gunungan selalu dihadirkan dalam
kegiatan budaya di Yogyakarta. Jika dahulu gunungan biasanya tebuat dari aneka
sayur-sayuran, kini banyak gunungan menggunakan makanan yang sudah jadi. Beberapa
bentuk gunungan yang pernah saya lihat adalah gunungan bakpia, gunungan apem, gunungan
buku, gunungan dompet, dan gunungan jajanan pasar. Meski bahan pembuatnya beda,
namun bentuknya selalu sama, yakni menyerupai kerucut.
Penggunaan bahan gunungan sejatinya
tergantung pada bentuk hajatan yang digelar. Misal saja gunungan buku yang
dibagikan pada hari pendidikan 2 Mei, atau gunungan jajanan pasar dalam rangka
kirab lor negoro, di kampung kricak, Tegalrejo, Kota Jogja yang saya saksikan
pada hari Minggu ini.
Gunungan selalu menarik banyak
orang untuk hadir di acara tersebut. Selain petugas yang membawa gunungan,
banyak masyarakat yang berjalan di belakang kirab gunungan. Menunggu kapan
gunungan akan di bagikan, atau lebih tepatnya diperebutkan. Disitulah daya “magis”
gunungan.
Mengapa orang-orang mau berebut
gunungan salah satunya karena mitos yang dibangun dalam wacana gunungan. Bagi orang
Jawa, apabila bisa mengadakan suatu hajatan besar maka diangap memiliki status
sosial yang lebih tinggi. Lalu bagi mereka yang mendapat undangan hajatan akan
merasa senang karena “diuwongke”. Dan ketika diundang dalam sebuah hajatan pastilah
mendapat jamuan. Gunungan juga menjadi semacam jamuan. Karena jumlahnya sedikit
maka ia menjadi istimewa. Karena istimewa ia lalu diperebutkan. Dan Ketika berhasil
mendapatkan gunungan maka muncullah rasa bangga karena menjadi penanda
kekuasaan, telah berhasil mengalahkan yang lain.
Yang paling menarik saat berebut
gunungan tak ada lagi teman, mana anak-anak ataupun orang tua. Semua akan mengerahkan segala
upaya untuk mendapat bagian gunungan. Saling sikut, injak menjadi tontonan bagi si pemilik hajat. Sungguh suatu pencerahan akan "makna gunungan" yang sebenarnya. Mungkin itulah gambaran
mengapa kita selalu tertarik menjadi berkuasa.
Slurrppp, ahhhhh....Bab I Tesis
saya selesai
Sabtu, 25 November 2017
Mitos Micin
Entah mengapa setiap mendengar kata micin,vetsin, MSG ada kesan yang tidak mengenakkan di otak saya. Mungkin karena selama ini saya tidak suka makanan yang mengandung micin, ditambah minimnya pengetahuan saya tentang micin. Sejak kecil setiap saya memakan makanan yang mengandung Mononatrium Sodium Glutamat (MSG) yang tersisa kemudian adalah lidah terasa kaku, pusing dan mual. Dari situ saya berasumsi tubuh saya tidak cocok dengan makanan mengandung MSG. Karenanya sekitar 20 tahun terakhir saya cenderung menghindari atau mengurangi konsumsi MSG pada hidangan yang saya makan. Kalaupun terlanjur mengonsumsi dan tubuh mulai bereaksi saya akan menetralisir dengan minum banyak air putih atau makan buah-buahan.
Meski kini telah ada penelitian terbaru tentang MSG yang menyebutkan MSG bermanfaat bagi tubuh selama tidak dikonsumsi berlebihan, saya tetap tak percaya beitu saja. Pasalnya saya tetap tidak bisa menyantap makanan kesukaan saya seperti bakso atau mie ayam ber-MSG. Yang saya khawatir jangan-jangan saya selama ini telah menjadi korban dari wacana kesehatan yang sudah menyelinap di kesadaran saya...wuidihhhh...
Dari sudut pandang ekonomi politik, kalau saja ada satu juta orang yang tidak suka menggunakan micin mungkin akan membuat perusahaan pembuat MSG was-was. Lalu kalau yang tidak suka micin bertambah 10 juta orang maka perusahaan pembuat MSG akan kelimpungan bagaimana memasarkan produknya. JIka bertambah menjadi 100 juta orang yang tidak suka micin maka dijamin perusahaan pembuat MSG akan bankrut!! itu analisa dangkal saya.
Sekedar iseng googling ternyata ada 13 pabrik pembuat MSG di Indonesia. Studi yang dilakukan MARS tahun 2014 menyebutkan selama 6 tahun terakhir produksi aktual MSG di Indonesia terus meningkat dengan average growth 9,1 % per tahun. diikuti pula dnegan business value MSG di Indonesia dari Rp. 3,36 triliun tahun 2008 menjadi Rp. 6,61 triliun di tahun 2013. Sudah pasti penyerap MSG terbesar adalah industri kuliner dan keluarga.
Masuk akal kalau kini industri kuliner tumbuh subur dengan menawarkan makanan dengan rasa sedap gurih plus tambahan perisa lainnya berbumbu MSG. Karena dengan menambahkan MSG semua makanan menjadi sedap gurih apalagi dengan takaran yang pas, puluhan hingga ratusan mangkuk bakso/ mie ayam, akan memiliki rasa yang sama. Artinya untuk mendapatkan keuntungan besar tidak perlu menambah daging karena akan menambah mahal biaya untuk menciptakan rasa sedap gurih. Cukup gunakan bumbu sintetik MSg maka rasa dijamin identik.
Kita tahu MSG adalah penyedap rasa buatan (sintetik) dari glutamat. Glutamat adalah asam amino pembentuk protein. Zat ini tidak dihasilkan sendiri oleh tubuh, namun didapat dari bahan-bahan alami yang biasa digunakan sebagai penyedap makanan seperti daging, jamur, tomat, dan lain sebagainya.
Industrialisasi telah menempatkan MSG sebagai wacana seksi untuk tumbuh dan berkembangnya kapitalisme. Di satu sisi Soft Capitalism dengan mengklaim tidak menggunakan MSG produk makanan dianggap lebih sehat. Klaim ini bisa membahayakan "nasib" pabrik pembuat MSG. Maka dimunculkanlah wacana tandingan : MSG memiliki manfaat bagi kesehatan oleh Hard Capitalism .
Kini istilah micin digunakan untuk menyindir atau mengkritik pihak lain, khususnya para generasi milenial yang hidup di era serba instan. Generasi milenial sering disebut generasi micin karena dianggap malas berpikir. Ibarat memberi micin yang harganya murah pada masakan, maka masakan menjadi sedap gurih. Lalu bagaimana dengan otak generasi milenial? apakah otomatis menjadi bodoh? Jika penelitian terbaru tentang micin menyebutkan micin membuat otak menjadi pintar kira-kira wacana tandingan apalagi yang akan ditampilkan?? Wacana benar atau salah tentang micin akan terus bertarung. Maka silahkan dipilih sendiri. Bakso atau mie ayam kesukaan mu mau pake micin atau tidak??.
Meski kini telah ada penelitian terbaru tentang MSG yang menyebutkan MSG bermanfaat bagi tubuh selama tidak dikonsumsi berlebihan, saya tetap tak percaya beitu saja. Pasalnya saya tetap tidak bisa menyantap makanan kesukaan saya seperti bakso atau mie ayam ber-MSG. Yang saya khawatir jangan-jangan saya selama ini telah menjadi korban dari wacana kesehatan yang sudah menyelinap di kesadaran saya...wuidihhhh...
Dari sudut pandang ekonomi politik, kalau saja ada satu juta orang yang tidak suka menggunakan micin mungkin akan membuat perusahaan pembuat MSG was-was. Lalu kalau yang tidak suka micin bertambah 10 juta orang maka perusahaan pembuat MSG akan kelimpungan bagaimana memasarkan produknya. JIka bertambah menjadi 100 juta orang yang tidak suka micin maka dijamin perusahaan pembuat MSG akan bankrut!! itu analisa dangkal saya.
Sekedar iseng googling ternyata ada 13 pabrik pembuat MSG di Indonesia. Studi yang dilakukan MARS tahun 2014 menyebutkan selama 6 tahun terakhir produksi aktual MSG di Indonesia terus meningkat dengan average growth 9,1 % per tahun. diikuti pula dnegan business value MSG di Indonesia dari Rp. 3,36 triliun tahun 2008 menjadi Rp. 6,61 triliun di tahun 2013. Sudah pasti penyerap MSG terbesar adalah industri kuliner dan keluarga.
Masuk akal kalau kini industri kuliner tumbuh subur dengan menawarkan makanan dengan rasa sedap gurih plus tambahan perisa lainnya berbumbu MSG. Karena dengan menambahkan MSG semua makanan menjadi sedap gurih apalagi dengan takaran yang pas, puluhan hingga ratusan mangkuk bakso/ mie ayam, akan memiliki rasa yang sama. Artinya untuk mendapatkan keuntungan besar tidak perlu menambah daging karena akan menambah mahal biaya untuk menciptakan rasa sedap gurih. Cukup gunakan bumbu sintetik MSg maka rasa dijamin identik.
Kita tahu MSG adalah penyedap rasa buatan (sintetik) dari glutamat. Glutamat adalah asam amino pembentuk protein. Zat ini tidak dihasilkan sendiri oleh tubuh, namun didapat dari bahan-bahan alami yang biasa digunakan sebagai penyedap makanan seperti daging, jamur, tomat, dan lain sebagainya.
Industrialisasi telah menempatkan MSG sebagai wacana seksi untuk tumbuh dan berkembangnya kapitalisme. Di satu sisi Soft Capitalism dengan mengklaim tidak menggunakan MSG produk makanan dianggap lebih sehat. Klaim ini bisa membahayakan "nasib" pabrik pembuat MSG. Maka dimunculkanlah wacana tandingan : MSG memiliki manfaat bagi kesehatan oleh Hard Capitalism .
Kini istilah micin digunakan untuk menyindir atau mengkritik pihak lain, khususnya para generasi milenial yang hidup di era serba instan. Generasi milenial sering disebut generasi micin karena dianggap malas berpikir. Ibarat memberi micin yang harganya murah pada masakan, maka masakan menjadi sedap gurih. Lalu bagaimana dengan otak generasi milenial? apakah otomatis menjadi bodoh? Jika penelitian terbaru tentang micin menyebutkan micin membuat otak menjadi pintar kira-kira wacana tandingan apalagi yang akan ditampilkan?? Wacana benar atau salah tentang micin akan terus bertarung. Maka silahkan dipilih sendiri. Bakso atau mie ayam kesukaan mu mau pake micin atau tidak??.
Langganan:
Postingan (Atom)